Kewenangan Dokter Diamputasi,
Harga Obat Jadi Murah
Kamis, 26 Juli 2007
JAKARTA (Suara Karya): "Kesaktian" dokter dalam merekomendasikan obat bagi pasien melalui resep segera diamputasi. Tak lama lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi kewenangan kepada apoteker untuk mengganti obat yang diresepkan dokter untuk pasien. Dengan itu, sepanjang obat pangganti yang disodorkan apoteker tidak lebih mahal, pasien bisa menikmati harga obat yang lebih murah.
Demikian terungkap dalam forum kajian strategis bertema "Mencari Solusi Alternatif dalam Mewujudkan Masyarakat Sehat dengan Obat Murah dan Terjangkau", yang diselenggarakan Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Rabu, di Jakarta. Tampil sebagai pembicara, masing-masing Ketua Umum Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) Haryanto Dhanutirto, Timbalan (Wakil) Menkes Malaysia Abdul Latiff bin Ahmad, Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan Depkes Richard Pandjaitan, Dirut PT Indofarma Syamsul Arifin, dan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih.
Menurut Haryanto, pemerintah memang perlu memberikan kewenangan kepada apoteker untuk mengganti obat yang diresepkan dokter untuk pasien. Kewenangan tersebut memungkinkan harga obat tak lagi terdistorsi oleh pola dispensing (penulisan resep oleh dokter) seperti selama ini.
Haryanto menyebutkan, dispensing membuat dokter bisa menikmati "diskon" dari produsen obat hingga senilai 40 persen harga obat. Tapi justru itu, harga obat terkondisi menjadi mahal dan sulit bisa turun.
Bagi produsen obat, "diskon" harga obat untuk dokter merupakan biaya promosi. Itu pula yang membuat produsen sulit menekan harga obat. Itu berarti pola dispensing membuat harga obat terdistorsi signifikan.
Karena itu, menurut Haryanto, apoteker perlu diberi kewenangan bisa mengganti resep obat yang ditulis dokter dengan obat yang lebih murah, termasuk obat generik. Otoritas tersebut, katanya, bisa dilakukan dengan mengacu kepada UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Meski begitu, Haryanto menyatakan bahwa kewenangan seperti itu bukan tanpa kelemahan. Sering kali, katanya, apoteker tidak berada di apotek. Akibatnya, kesempatan pasien untuk bisa menikmati obat alternatif yang lebih murah pun bisa hilang.
Dirjen Bina Farmasi dan Alat-alat Kesehatan Depkes Richard Pandjaitan dalam seminar itu memastikan bahwa pemerintah akan memberikan kewenangan kepada apoteker untuk mengganti obat yang diresepkan dokter sebagaimana diutarakan Haryanto. Menurut dia, soal itu akan diatur dalam sebuah peraturan pemerintah (PP). "Kini PP tersebut dalam proses pembahasan," ujarnya.
Timbalan (Wakil) Menteri Kesehatan Malaysia Abdul Latiff bin Ahmad mengemukakan, regulasi di Malaysia membuat rakyat bisa menikmati layanan kesehatan relatif murah, termasuk menyangkut harga obat. "Hanya dengan biaya sekitar Rp 2.500, orang Malaysia bisa mendapatkan pemeriksaan dokter plus obat selama dua bulan," katanya.
Latiff menyebutkan, pemerintah Malaysia mengeluarkan subsidi sehingga ongkos kesehatan rakyat relatif murah. Jajaran perusahaan farmasi di Malaysia juga tidak bisa berbuat macam-macam karena pembeli terbesar obat di negeri jiran itu adalah pemerintah Malaysia sendiri. "Pemerintah pun mengenakan sanksi hukum jika perusahaan farmasi lalai dalam menyediakan obat," ujarnya.
Sementara itu, Indah Suksmaningsih menilai, pemberian kewenangan kepada apoteker untuk mengganti obat yang diresepkan dokter jelas positif. Dia menyebutkan, selama ini apoteker praktis tersubordinasi dokter. "Jadi, kebijakan yang memberi kewenangan kepada apoteker menyangkut resep dokter ini memberikan keseimbangan baru antara apoteker dan dokter," ujarnya. (Mangku)
Saturday, September 15, 2007
Harga Alat Kesehatan
Posted by
Cheria Holiday
at
4:57 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment