Wednesday, September 12, 2007

Biar Mahal, Cepat Balik Modal

Biar Mahal, Cepat Balik Modal
Kamis, 07 September 2006
Oleh : Eva Martha Rahayu

Sejumlah rumah sakit besar berani menginvestasikan duit puluhan miliar untuk membeli alat-alat kesehatan berteknologi canggih. Bagaimana kalkulasi bisnisnya?

Berobat ke luar negeri sudah menjadi bagian dari gaya hidup bagi sebagian kalangan berduit di Indonesia. Banyak dari mereka yang pergi ke rumah sakit Singapura atau Malaysia untuk menyembuhkan penyakitnya. Alasannya jelas: di luar negeri peralatan medisnya lebih canggih dan komplet.

Tren berobat ke mancanegara ini menggelitik para pelaku bisnis rumah sakit. Mereka berpikir, ketimbang duit pasien terbuang lebih banyak untuk ongkos ke luar negeri, mengapa tidak mereka saja yang menyediakan fasilitasnya. Dengan peralatan medis yang sama-sama up to date, tentu biaya yang akan dikeluarkan pasien lebih hemat jika berobat di dalam negeri. Tak ayal, beberapa rumah sakit besar jorjoran membeli alat-alat kesehatan yang serba canggih untuk memenuhi selera pasar.

Pauline Widyawati, Kepala Pemasaran Siloam Hospital, membenarkan, pihaknya berupaya mencegat maraknya golongan menengah-atas yang hendak berobat ke negeri jiran dengan menyediakan fasilitas medis bertaraf internasional. “Upaya ini sebagai langkah meningkatkan layanan masyarakat yang membutuhkan dan mampu,” katanya. Selain itu, yang menjadi pertimbangan pembelian alat kesehatan adalah informasi dari luar tentang magnet yang mampu menarik calon pasien. Contohnya RS A banyak pasiennya karena punya alat B, maka Siloam akan membeli alat kesehatan itu juga. Toh, ia tidak menampik sinyalemen kadang kala biaya pengobatan di luar negeri justru lebih murah dibanding lokal. Mengapa? “Di luar negeri alat kesehatan tidak kena pajak, sehingga mereka bisa jual jasa lebih murah. Sementara, di sini malah kena pajak tinggi,” Pauline menegaskan.

Sementara itu, RS Husada membeli alat kesehatan canggih karena kemampuannya mendiagnosis penyakit lebih cepat dan hasil pemeriksaan lebih akurat. “Setiap manusia punya kecenderungan ingin berumur lebih panjang. Dengan diterapkan teknologi canggih, kami berharap bisa mendiagnosis penyakit lebih dini, serta menyembuhkan secara pasti dan akurat,” ujar mantan pejabat RS Husada yang tidak bersedia menyebutkan jati dirinya ini.

Potensi pasar pun menjadi pertimbangan dalam berbelanja alat kesehatan. “Kami mesti melihat kekuatan pasar. Kira-kira pasiennya banyak atau tidak. Kalau masyarakat di sekitar sini tidak bisa bayar, buat apa beli mahal-mahal. Ya kan,” tukas Winahyo Hardjoprakoso, Presdir Hospital Cinere meyakinkan. Namun, siapa pun mafhum bahwa penduduk di kawasan Hospital Cinere adalah masyarakat menengah-atas, karena di sekitarnya banyak permukiman mewah.

Apa saja alat kesehatan canggih yang dimiliki sejumlah rumah sakit tersebut? Di Hospital Cinere misalnya, peralatan baru semua untuk Klinik Kardiovaskular, yang baru dioperasionalkan 2 Agustus 2006. “Hampir 70% alat kesehatan itu merek Philips, sisanya produk buatan Jepang,” Winahyo menambahkan. Patut dimaklumi jika klinik itu banyak memakai alat kesehatan dari Belanda. Sebab berdirinya klinik penanganan jantung itu hasil kerja sama manajemen Hospital Cinere dengan Heart Centre Zwolle – Isala Klinieken, Belanda. Adapun jenis alat kesehatan yang dimiliki Klinik Kardiovaskular, antara lain, alat kateterisasi untuk kateter jantung yang paling canggih. Selain itu ada multislice computerized tomography (MSCT) Scan 64, sehingga sistem kerjanya dalam pembuatan film lebih cepat. Untuk periksa kehamilan, Cinere punya alat ultrasonografi (USG) tiga dan empat dimensi.
Biar Mahal, Cepat Balik Modal
Kamis, 07 September 2006
Oleh : Eva Martha Rahayu


“Kami selalu mengikuti perkembangan teknologi dalam pengadaan alat kesehatan,” ungkap Pauline. Itulah sebabnya saban setahun sekali atau dua kali Siloam mengirim beberapa dokter untuk ikut pelatihan penanganan penyakit dengan dukungan alat kesehatan tercanggih. Karena Siloam terkenal dalam layanan neuro science – seperti bedah saraf, pemeriksaan saraf dan jantung – alat kesehatan pemeriksaannya dilengkapi secanggih mungkin. Sejauh ini suplai alat kesehatan Siloam didukung oleh 300 pemasok tetap, dan ratusan pemasok lainnya untuk kebutuhan alat kesehatan kecil-kecil.

Sekarang alat kesehatan terkini koleksi Siloam adalah MSCT Scan 16 sayatan yang dibeli tahun 2005. “Memang sekarang ada yang 64 sayatan, tapi kami pikir dengan 16 sayatan pun sudah bisa. Alat itu untuk pemeriksaan jantung dan pembuluh darah ke otak,” Pauline menjelaskan. Juga, dilengkapi dengan USG empat dimensi untuk periksa kehamilan. Selain itu, juga memiliki angiografi untuk mendeteksi pembuluh darah jantung. Tak ketinggalan magnetic resonance imaging (MRI) guna melihat jaringan tubuh (pembuluh darah pecah, misalnya). Dalam grup jaringan Siloam Hospital (lima cabang) hanya memiliki satu alat canggih itu. Jadi bila ada pasien yang harus diperiksa dengan MRI, dikirim ke cabang Karawaci. Wajar saja karena mahalnya harga alat kesehatan itu. “Kalau masing -masing rumah sakit beli sendiri, wah biaya perawatannya mahal,” kata Pauline.

Sementara itu, sumber di Husada mengklaim, rumah sakit ini sejak tahun 2000 selalu terdepan dalam penerapan teknologi terbaru alat kesehatan dibandingkan dengan kompetitor. Uniknya, pembelian itu tidak tergantung pada demand, melainkan lebih menitikberatkan prospek alat itu ke depan. “Kalau by demand, kami bisa ketinggalan. Sebab, itu berarti yang lain sudah pakai, kami baru mengikuti,” ujar sumber SWA itu. Selama ini alat kesehatan yang dibeli Husada lebih banyak untuk radiologi (diagnosis penyakit), salah satu bidang yang menjadi keunggulannya. Dan alat kesehatan canggih andalan Husada tak jauh beda dari rumah sakit lain, seperti MRI 1,5 tesla dan MSCT Scan.

Masing-masing rumah sakit punya pertimbangan khusus dalam memilih alat kesehatan yang bakal dibeli. Cinere menekankan pada faktor pembelian di agen resmi agar menguasai teknik pemakaian alatnya, layanan pascajual, siapa dokter yang akan memakai, berapa harganya dan bagaimana pola pembayarannya. “Pokoknya alat kesehatan yang kami gunakan atas dasar fungsi, untung-rugi, serta apakah dokter bisa memaksimalkan penggunaan alat kesehatan itu agar diraih manfaat yang optimal,” Winahyo menuturkan.

Di Siloam, pengadaan alat kesehatan umumnya atas rujukan para dokter. Rata-rata dokter sudah mengenal alat kesehatan terbaru dari hasil simposium di luar negeri. Sang dokter mendiskusikan dengan dewan direksi atau pemilik rumah sakit untuk menjelaskan manfaat alat itu. Selanjutnya, manajemen menghubungi distributor alat kesehatan yang bersangkutan. Jika di dalam negeri tidak ada distributornya, manajemen langsung mengontak produsen alat kesehatan itu di luar negeri. Biasanya rumah sakit ini membeli alat kesehatan sistem paket dengan biaya pelatihan hingga ke negara asal pembuat alat kesehatan itu.

Berapa nilai investasi belanja alat kesehatan? Bervariasi, tergantung pada jenis dan fungsinya. Ambil contoh alat kesehatan yang dibeli Siloam sebagaimana dipaparkan Pauline, untuk MSCT Scan dan angiografi senilai US$ 1 juta; echo (periksa jantung) harganya US$ 600 ribu; dan MRI US$ 1,5 juta per unit. Adapun harga alat kesehatan yang dibeli Cinere bisa di atas Rp 10 miliar per unit. “Mahal sekali harganya. Untuk total nilai investasi kami tidak bisa sebutkan,” kilah Winahyo.

Husada tiap tahun mengalokasikan investasi alat kesehatan Rp 10-20 miliar. “Alat kesehatan termahal di Husada Rp 10 miliar per unit, dan memang harga tinggi itu sebanding dengan manfaatnya. Sebab, setelah ada alat itu sangat membantu dari sisi kedokteran,” tutur sumber SWA di rumah sakit itu. Dan rata-rata pembelian alat kesehatan di sini menggunakan sistem beli putus.

Masalahnya, apakah duit yang sudah digelontorkan untuk membeli sejumlah alat kesehatan canggih bisa kembali, bahkan menghasilkan untung? Pasalnya, pihak rumah sakit bakal tekor bila mengejar gengsi belaka, tapi alat kesehatan itu tidak termanfaatkan secara optimal. Namun, pelaku bisnis rumah sakit mengaku sudah mengantisipasinya sejak dini. “Untuk membeli alat kesehatan jangan asal canggih, tapi perhitungkan nilai ekonomisnya. Menguntungkan atau tidak,” Winahyo mengingatkan. Pauline pun mengamini opini Winahyo. “Jangan sampai alat kesehatan mahal, lama tidak dipakai, jadinya malah cost terus,” tandas Pauline.

Menurut sumber SWA di Husada return on investment pengadaan alat kesehatan cukup baik dan mencapai target. Katakanlah untuk alat medis premium, balik modal (pay back period) bisa empat tahun dan paling lama 6-7 tahun, dengan umur ekonomis alat sampai 8 tahun. Sementara omset rumah sakit itu jika dipukul rata bisa di atas Rp 100 miliar per tahun.

Supaya modal kembali sesuai dengan target, mesti mampu memenuhi target minimum pasien yang dijaring sesuai dengan harga masing-masing alat kesehatan. Sebab, tingkat utilisasi tiap alat kesehatan berlainan. Sebagai gambaran di Husada, untuk CT Scan yang dibanderol Rp 8 miliar, paling tidak dalam sehari minimum melayani 8 klien, dengan jam operasional 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu dan 365 hari setahun. Dengan kondisi seperti ini, pay back period bisa tercapai dalam waktu lima tahun. Untuk MRI yang harganya Rp 10 miliar, minimum tiap hari harus bisa merangkul 11 klien dengan lama operasional 24 jam sehari, 7 hari seminggu atau 365 hari dalam setahun tanpa jeda.

Menurut Pauline, perhitungan balik modal investasi alat kesehatan Siloam tergantung pada banyak-tidaknya pasien. “Kalau pasiennya banyak bisa balik modal 5-6 tahun. Sebaliknya, jika pasiennya sedikit pay back period baru tercapai 10-15 tahun. Ia mencontohkan, jumlah pengguna MRI per bulan sekitar 350 pasien, maka modal untuk pembelian alat ini bisa kembali sekitar lima tahun. Ia membenarkan ramainya pasien MRI lantaran Siloam banyak dijadikan rujukan rumah sakit di sekitar Tangerang, Serang dan wilayah Banten lainnya. Sebut saja referensi dari RS Krakatau Medika, RS Bintaro, RS Sari Asih, RS Husada Insani.

Lantas apakah sekarang investasi alat kesehatan Siloam sudah balik modal? “Belum tuh. Masalahnya bisnis rumah sakit memang lama balik modalnya,” ia menandaskan. Pihaknya tidak memilih cara sewa meski harga alat kesehatan tersebut mahal sekali. Alasannya, dengan cara sewa dianggap tidak menguntungkan. Sebab, kurang mendatangkan profit dan tidak bisa memiliki sendiri alat tersebut. “Kalau punya alat sendiri, suatu ketika sudah tidak dipakai lagi, bisa kami jual ke rumah sakit dalam grup atau rumah sakit lain,” papar Pauline.
Bagaimana perhitungan utilisasinya? Dikatakan Pauline, bagian finance Siloam yang akan menghitung berapa investasinya, berapa tahun modal akan kembali dan berapa tarif yang ditetapkan. Yang jelas, jangan sampai tarifnya lebih mahal dibanding di luar negeri, serta dipertimbangkan kemampuan masyarakat. Sebagai gambaran biaya pemeriksaan MSCT Scan, untuk jantung dan brand doc dipatok Rp 2,8 juta. Untuk tindakan kateterisasi, tergantung kelas yang dipilih pasien. Kelas tiga biayanya Rp 7 juta, sedangkan kelas dua Rp 8 juta. “Jangan lupa, harga tersebut bukan karena pemakaian alat kesehatan saja. Sebab, kami kan harus pakai kontras (cairan yang dimasukkan ke pembuluh darah, agar ketika difoto dengan alat itu terlihat mampetnya di mana) yang harganya satu plafon Rp 450 ribu,” Pauline menguraikan. Total biaya pembukaan sumbatan aliran darah Rp 7-15 juta (di luar biaya perawatan). Ongkos perawatan tergantung pada harga kamar. Juga, belum termasuk biaya balon atau ring jika pasien harus di-stan (jika ada penyumbatan darah). Harga ring di kisaran Rp 12-30 juta.

Winahyo optimistis, investasi alat kesehatan di Hospital Cinere akan mencapai titik impas dalam tempo 6 tahun. Alasannya, jumlah pasien terus bertambah dengan biaya pengobatan yang mencapai puluhan juta tiap orang. “Memang sih ada yang datang ke sini hanya untuk periksa jantung. Jadi tidak semua pasien bertujuan tindakan kateterisasi,” paparnya. Ia mengaku tarif pengobatannya sesuai dengan harga pasaran. Ambil contoh satu stan (alat kateterisasi) saja Rp 30 juta, bisa dipasang dua stan. Total biaya yang dikeluarkan pasien tindakan kateterisasi (belum termasuk biaya perawatan) mencapai Rp 70-80 juta. “Itu pun dengan stan yang paling mahal,” imbuh Winahyo. Meski baru dibuka awal Agustus, sebenarnya Klinik Kardiovaskular sudah melayani pasien sejak sebulan sebelumnya. “Sudah lebih dari 30 orang yang kami tangani di sini,” katanya bangga.

Prospek layanan penyakit jantung dinilai Winahyo masih menjanjikan. “Semua ada spekulasinya, tapi kan kami pelajari. Kami punya keyakinan investasi ini akan menguntungkan dan pasarnya cukup besar,” ungkapnya. Menurut Winahyo, pasien jantung makin banyak. Ini dipengaruhi oleh faktor perilaku, gaya hidup dan makanan. Sepengetahuan Winahyo, belum banyak rumah sakit yang memiliki layanan seperti kliniknya. Di sisi lain, layanan jantung di rumah sakit bonafide di kota-kota besar sudah terlalu penuh. Ia berharap dengan adanya Klinik Kardiovaskular setidaknya bisa menjadi alternatif pasien yang akan berobat ke luar negeri.

Terlepas apakah investasi alat kesehatan yang dilakukan sejumlah rumah sakit sudah atau belum balik modal, yang tidak boleh dilupakan adalah kecanggihan peralatan kesehatan tak akan ada artinya tanpa dukungan SDM yang profesional dan terampil. “Betul, tanpa keahlian SDM medis yang baik, alat kesehatan diagnosis secanggih apa pun tidak ada gunanya,” sumber SWA di Husada menegaskan.


Reportase: Herning Banirestu, Afiff M.D./Riset: Sarah Agisty.

No comments: