Thursday, September 20, 2007

Pendidikan Mahal, Kesehatan Tak Mau Kalah

Pendidikan Mahal, Kesehatan Tak Mau Kalah



TAHUN ajaran baru di semua sekolah baru saja lewat. Bukan berarti
semuanya beres, sebab uang pungutan sekolah yang semakin menggila, bahkan di
banyak sekolah negeri sekalipun, belum semuanya mampu dilunasi. Uang pungutan
masuk bagi para siswa baru, sangat beragam dan berganda, sementara pihak
sekolah seolah tidak peduli akan kesulitan ini dan telah menyiapkan begitu
banyak jurus untuk melegalisasi keputusan itu. Pungutan dikemas sebagai dana
yang ditujukan untuk uang seragam, uang buku, uang gedung, uang
ekstrakurikuler, uang pengembangan fasilitas dan masih banyak lagi jenisnya,
pada hal itu dilakukan juga di sekolah negeri. Hal sejenis, apabila dilakukan
di sekolah swasta murni, mungkin masih dapat diterima akal sehat kita semua.
Pada akhirnya samar dan tidak jelas lagi, pungutan mana yang benar dialokasikan
untuk peruntukannya, dan mana yang sebenarnya merupakan pungutan liar (pungli)
yang membebani dan membodohi para orangtua siswa yang awam. Hal itu dapat
berjalan
lancar, sebab didukung sepenuhnya oleh Komite Sekolah saat ini, tetapi audit
dan pertanggungjawaban pihak sekolah tidak jelas kapan dilakukan, bahkan
skenario terburuk mungkin pertanggungjawaban direncanakan di hadapan Komite
Sekolah yang berikutnya. Komite Sekolah yang merupakan badan atau atau wadah
yang seharusnya melindungi, membela dan menjembatani pihak sekolah dan orangtua
siswa ini, sekarang justru bersifat seperti DPR yang mengiyakan, menyetempel
dan setuju saja atas semua pungutan liar pihak sekolah untuk siswa baru.

Wajar saja bila banyak orang tua protes, menjerit dan mengadu, LBH
Yogyakarta, menurut Sdr M Irsyad Thamrin SH direkturnya, telah menyatakan siap
untuk memberikan advokasi bagi semua orang tua yang mengadu dan merasa
dirugikan satu Koran Jakarta, (Rabu 9 Agustus 2006), didasari oleh norma hukum
bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia, seperti dijamin
oleh pasal 31 UUD 45. Namun demikian, apabila pungutan liar sekolah sampai
sedemikian mahal, maka warga yang miskin akan menjadi sangat kesulitan untuk
mengaksesnya, bahkan sampai timbul kelakar jalanan 'orang miskin dilarang
sekolah'. LBH Yogyakarta sampai demikian geram, sehingga meminta Pemerintah
Propinsi (Pemprop DIY) dan Pemerintah Kota/Kabupaten untuk menginvestigasi dan
menindak sekolah-sekolah negeri yang melakukan pungutan liar ini. Marilah kita
tunggu bersama dengan perasaan sangat berharap, akan adanya respons positif
dari pemerintah. Bukannya pesimis, namun fakta sudah sering kali membukti
kan, pemerintah tidak berdaya. Kalau pungutan liar seperti ini terus
berlangsung pemerintah tidak berdaya. Kalau pungutan liar seperti ini terus
berlangsung dan semakin menggila dari tahun ke tahun, maka tidak terbayangkan
lagi kesulitan warga masyarakat secara luas, termasuk para korban gempa bumi
dan bencana alam lainnya, yang untuk memenuhi kebutuhan primernya saja mereka
semakin kewalahan.

Kalau kasus ini tidak ditindak dengan cepat, tegas dan bijak oleh
pemerintah, baik pusat maupun daerah, maka fenomena domino pasti akan terjadi.
Dengan demikian, tidak hanya bidang pendidikan saja yang semakin jauh
terjangkau oleh masyarakat kebanyakan, sebab imbasnya tidak akan lama lagi
pasti bidang kesehatan menyusul, tidak mau kalah dan semakin arogan juga.
Lilitan gurita logika bisnis yang sangat mengerikan, pada saatnya ternyata
merambah juga dunia pendidikan dan kesehatan, dua dunia pelayanan sosial yang
semestinya steril darinya dan diselenggarakan sepenuhnya oleh negara, di
manapun juga di seluruh dunia. Sarana kesehatan milik pemerintah, baik
puskesmas maupun rumah sakit umum, sampai saat ini masih tetap memberikan
pelayanan kesehatan dengan tarif yang terjangkau bagi masyarakat umum. Namun
demikian, dengan contoh bidang pendidikan yang semakin dililit oleh gurita
logika bisnis, di luar kendali dan jangkauan kekuasaan pemerintah, juga semakin
otonom yang kebli
nger, maka bidang kesehatan tinggal menunggu hari. Sekolah negeri yang
memiliki komite sekolah saja tidak berdaya menekan biaya operasional, apalagi
sarana kesehatan pemerintah, di mana peran serta masyarakat untuk mengontrolnya
sangat minim.

Saat ini, retribusi atau tarif pemeriksaan pasien di puskesmas dan rumah
sakit negeri masih dapat dikendalikan secara ketat, terjangkau dan aman sebab
peraturan daerah yang disahkan oleh DPRD masih sangat berpihak pada masyarakat.
Dengan membayar retribusi atau tarif pemeriksaan yang terjangkau, para pasien
sudah dicatat dalam berkas rekam medik, diperiksa dokter, kalau perlu diperiksa
di laboratorium sederhana dan mendapatkan obatnya sekaligus. Pihak manajemen
puskesmas dan rumah sakit negeri, untuk saat ini masih taat azas, meskipun
kiat, jurus dan strategi baru sebenarnya sudah dirancang, disusun dan hampir
jadi. Dengan menurunnya kucuran dana masuk (subsidi pemerintah dalam biaya
operasionalnya, juga semakin sulitnya mencari dana tambahan untuk pengembangan
pelayanan, termasuk membeli alat medik baru), sementara harga obat dan alat
kesehatan semakin meningkat, wajar saja lobi dan pendekatan legal dengan pihak
legislatif pasti akan segera ditempuh untuk mengesahkan p
roposal amandemen peraturan daerah, yaitu berupa kenaikan tarif retribusinya.

Apabila hal tersebut mentok, mengambang atau bahkan ditolak, maka
skenario kedua mungkin akan harus dijalankan. Kalau pihak sekolah telah
melakukan pungutan liar pada para siswa baru, maka pihak manajemen puskesmas
dan rumah sakit negeri pasti tidak mau kalah kreatif, inovatif dan jeli.
Kreativitasnya meliputi banyak bentuk dari aspek administratif, medik, farmasi
bahkan juga murni non medik. Dengan alasan untuk pembuatan berkas rekam medik
baru yang terintegrasi, obatnya bukan subsidi pemerintah, obat bius yang dapat
menekan sakit masih harus impor, benang operasinya dibeli rumah sakit, alat
diagnostiknya merupakan program KSO (kerja sama operasional) dengan pihak
swasta, tarif tindakan dokternya termasuk canggih dan belum diatur dalam
peraturan daerah, obat tidak ada dalam daftar obat yang ditanggung asuransi,
obat generiknya tidak ada retribusi atau tarif pemeriksaan tetap dan tidak
dinaikkan, namun para pasien hanya mendapatkan jenis pelayanan yang jauh lebih
sediki
t. Untuk mendapatkan jenis pelayanan yang serupa dengan sebelumnya dan
diinginkan, para pasien terpaksa harus membayar lebih mahal, di luar retribusi
atau tarif pemeriksaan yang resmi. Kenaikan biaya seperti ini, semuanya
dibebankan murni ke pundak para pasien, sebab klaim asuransi kadang sulit cair.

Serupa dengan pungutan liar di sekolah negeri, kenaikan biaya pelayanan
kesehatan ini juga diprediksikan cenderung semakin meningkat, menggila dan
tidak terkendali dari waktu ke waktu. Kelakar jalanannya menjadi jauh lebih
runyam, ironis dan satir sebab 'orang miskin jadi tidak hanya dilarang sekolah,
tetapi juga dilarang sakit'. Kalau kasus pungutan liar di sekolah negeri saat
ini tidak dapat ditindak dengan cepat, tegas dan bijak oleh pemerintah, baik
pusat maupun daerah, maka sesuai dengan fenomena domino, diperkirakan kenaikan
biaya pelayanan kesehatan juga semakin jauh dari jangkauan masyarakat
kebanyakan.

Tidak cukup hanya LBH Yogyakarta saja yang geram, tetapi kita semua
seharusnya bersikap serupa, untuk mengadvokasi masyarakat awam, memberikan
sinyal peringatan kepada pemerintah dan berharap dengan sangat agar
permasalahan ini segera tuntas. q - c

*) FX Wikan Indrarto, dokter spesialis anak di RS Bethesda Yogyakarta.

Global-Alkes : Bursa Online Jual Beli Dan Info Harga Alat Kesehatan

No comments: