Engkol Bisa, Elektrik pun Bisa
Gurihnya bisnis furnitur rumah sakit
Bisnis mebel rumah sakit alias hospital furniture ternyata sangat menarik. Pemainnya tak banyak, sementara baru 60% produk hospital furniture yang tersebar di 1.200 rumah sakit di Indonesia bikinan pengusaha lokal.
Femi Adi Soempeno
Betapa praktisnya tempat tidur di rumah sakit itu. Bagian kepala bisa terangkat, begitu juga bagian badan ataupun kaki. Tinggal kayuh saja engkolnya, atau dipencet tombol elektriknya, ranjang ini memudahkan si pasien untuk makan maupun duduk tanpa harus mengangkat bagian tubuh. Banyak sudah yang merasakan manfaat ranjang berteknologi ini, tapi sedikit yang memperhatikan siapa produsennya. "Padahal, 60% hospital furniture itu sudah bikinan Indonesia, lo," ujar Robby Harjanto, Sales Manager PT Enseval Putra Megatrading Tbk, pemasok alat kesehatan terbesar di Indonesia.
Di Indonesia, pemain lokal di bisnis ini tak banyak. Tak lebih ada 10 perusahaan, dari kelas bengkel hingga pabrikan. Di antaranya PT Mega Andalan Kalasan (MAK), CV Nuri Teknik, PT Panca Harapan, PT Sarandi Karya Nugraha, Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI), dan CV Citra Medika Lestari. Perusahaan bermodal asing yang punya perakitan di Indonesia adalah Paramount dari Jepang. Ada pula Meditron Furniture Sdn.Bhd, perusahaan hospital furniture Malaysia, yang punya agen tunggal bernama CV Anugrah Karya Indonesia. "Bisnis ini masih menguntungkan, tapi persaingannya lebih ketat karena banyak pemain baru di industri ini," papar Achmad Syarifudin, Direktur Utama CV Nuri Teknik.
Produksi mereka beragam. Ada ranjang engkol maupun elektrik, foot step, kabinet (lemari kecil), tiang infus, keranjang bayi, emergency trolley, food trolley, meja operasi, UV sterilizer, kursi tunggu, emergency stretcher, over bed table, oxygen trolley, hingga gynecological chair electric. Umumnya, setiap produsen mampu membikin ratusan item furnitur medis ini. "Antara 5%-10% alat kesehatan adalah hospital furniture," ujar Buntoro, Direktur Utama  PT Mega Andalan Kalasan.
Sampai 20.000 unit per tahun
Menurut hitungan Buntoro, rumah sakit di Indonesia membutuhkan tak kurang dari 20.000 unit setara tempat tidur setiap tahun. Perinciannya, setiap tahun rumah sakit membutuhkan 8.000 unit anyar, plus tambahan 3.000 unit sesuai peningkatan jumlah penduduk, dan 9.000 unit pengganti tempat tidur yang lawas. "Itu jika pihak rumah sakit tidak ingin meletakkan pasiennya di lorong rumah sakit dengan tempat tidur darurat, lo," papar Buntoro.
Tentu saja kue yang tidak kecil ini menjadi rebutan beberapa perusahaan hospital furniture. CV Nuri Teknik, misalnya. Perusahaan yang didirikan Achmad pada tahun 1991 ini bahkan sudah mengepakkan sayapnya dengan membikin PT Sarandi Karya Nugraha di tahun 1998. Untuk menekan pengeluaran, Achmad menggunakan tenaga lepas setiap ada pesanan yang membeludak dan menyisakan 50 tenaga ahli sebagai pegawai tetapnya. "Soalnya kami memproduksi sesuai pesanan saja," kata Achmad.
Produk bikinan Achmad dilabeli dengan tiga merek sesuai kemampuan teknologinya. Produk yang berteknologi paling tinggi bermerek Nuritek, yang teknologinya menengah bermerek Murido, dan yang paling sederhana bermerek Alfansa. Dari ketiganya, ia mengambil keuntungan sebesar 5%-10%. Produknya pun tak hanya bertebaran di pasar domestik. Belum lama ini ia mengekspor 50 unit alat kebidanan ke Swedia senilai Rp 20 juta per unit dan 4.000 unit kursi tunggu senilai Rp 120.000 per unit. "Kami membikin belasan ribu unit per tahun," ungkap Achmad.
PT Sarandi Karya juga mengerjakan hospital furniture. Bedanya, perusahaan ini dimodali oleh Astra Group dengan total karyawan mencapai 200 orang. "Omzetnya mencapai puluhan miliar setahun," pamer Achmad. Jika kedua perusahaan miliknya ini dihadapkan pada pemain lain, ia pun tak gentar. "Enggak masalah, kami bisa mengatasi semuanya," kata Achmad. Strateginya, ia menjual produknya dengan harga yang relatif murah pada pemasok dan menempatkan diri sesuai dengan posisi dan harga yang ia pasang.
Ia pun tak mundur jika harus melawan PT Mega Andalan Kalasan (MAK) yang berskala lebih besar dari sisi distribusi maupun varian produk. MAK yang dibidani oleh Buntoro kini memiliki Prambanan Technopark sebagai sentra industri hospital furniture bikinannya. "Poin bisnis ini adalah teknologi," kata Buntoro. Menurutnya, semakin tinggi teknologi dikuasai oleh pabrik, makin banyak variannya dalam sebuah produk. Efek dominonya, makin banyak variannya, makin tinggi daya kompetisinya, makin tinggi pula nilai tambahnya.
Tak aneh, setiap tahun Buntoro mampu menciptakan 10 produk baru dari rangkaian hospital furniture bikinannya. Sayang, ia enggan mengatakan ke mana ia melego hospital furniture-nya di pasar luar negeri. "Itu rahasia perusahaan," ungkapnya sambil tergelak. Kini ia menggaet tak kurang dari 300 karyawan untuk memproduksi sekitar 15.000 unit setara tempat tidur di pabriknya, kawasan Prambanan, Jogja. "Kami one stop shopping untuk hospital furniture," tutur dia berpromosi.
Pemain asing versus lokal
Para pemain lokal di bisnis hospital furniture ini tidak bisa memandang remeh pesaing mereka. Sementara itu, mereka juga berupaya untuk meningkatkan konsumsi produk lokal di rumah sakit di seantero Indonesia. Maklum, pemain asing justru semakin gencar memasukkan produknya ke Indonesia, bahkan membikin perakitan di Indonesia. "Persaingan itu bukan hanya harga dan produk, melainkan juga soal koneksi," ujar Buntoro.
Salah satu perusahaan yang memindahkan pabriknya ke Indonesia ialah Paramount dari Negeri Matahari Terbit. "Faktor harga tidak menjadi pertimbangan lagi jika konsumen ngotot dengan merek tertentu," papar Edy Haryanto, Direktur PT Bintangsurya Sentosa Abadi, supplier alat kesehatan. Fanatisme merek ini membikin beberapa produk lokal tersingkirkan. "Padahal, produk kita itu sama canggihnya dengan bikinan luar negeri," ungkap Buntoro.
Meditron Furniture Sdn Bhd mulai menggagahi pasar hospital furniture di Indonesia. Sayapnya mengepak melalui agen tunggalnya CV Anugrah Karya Indonesia dengan melansir beberapa hot items bikinan pabrik Malaysia. Dengan mengambil margin keuntungan 10%-15%, perusahaan ini merangkul beberapa rekanan yang menjadi peserta tender untuk kebutuhan rumah sakit. "Beberapa rumah sakit di Kalimantan, Sumatra, dan Jawa sudah minta untuk dipasok Meditron," papar Rudi Pamudji, Direktur Marketing CV Anugrah Karya Indonesia.
Meditron melihat permintaan hospital furniture di Indonesia ini terbilang besar, sedangkan produsen lokal belum sanggup memenuhi kebutuhan itu. Namun, lantaran pabriknya belum diangkut ke Indonesia, tak urung beban pajak sebesar 10% membuat harga produk Meditron lebih tinggi ketimbang produk lokal. "Kami pun harus bersaing dengan produk lokal yang harganya lebih murah ketimbang kami," papar Rudi.
Bertambahnya merek di pasar hospital furniture ini menambah alternatif pilihan buat supplier. Konsumen yang kadang rewel meminta spesifikasi ini-itu pun jadi lebih mudah dipenuhi. Misalnya, mereka minta MAX bikinan PT Mega Andalan Kalasan, Paramount bikinan Paramount, dan Tesena bikinan PT Tesena Inovindo. "Produk mereka banyak dikenal, berkualitas, produknya selalu tersedia, dan marketing-nya cukup agresif," kata Edy.
Sebagai pemasok, Robby juga menawarkan produk lokal di samping bikinan Inggris, AS, Jerman, Jepang, Korea, dan China. "Saat ini malah pamor Jepang menurun. Yang sedang meroket adalah produk Korea," kata dia. Enseval, yang berdiri sejak 1975, menyuplai furnitur rumah sakit swasta maupun pemerintah, dengan komposisi 50%-50%. Produk yang banyak dijual itu bikinan MAK dan Tesena. "Semua teknologi ini ada, tergantung kondisi segmen dan keuangan konsumen," papar Robby.
PT Bintangsurya Sentosa Abadi kebanyakan (50%) juga menjual produk MAK, diikuti buatan Paramount (30%), dan produk Tesena (20%). "Lucunya, setiap kali ada tender di rumah sakit, kami juga harus bersaing dengan marketing dari produsen," ujar Edy geli. Padahal, kalau Edy menggaet tender, ia mengambil produk mereka juga.
Nah, tanpa minta proteksi pun, ternyata masih ada juga produk lokal yang mampu bersaing.
www.kontan-online.com
Saturday, September 15, 2007
Engkol Bisa, Elektrik pun Bisa
Posted by
Cheria Holiday
at
4:42 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment