Fenomena Korupsi di Lembaga Pemerintah
Oleh: Zamroni*
Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia merupakan fenomena yang merajalela dan cenderung membesar baik di jaman Orde Baru maupun sekarang. Terbukti Indonesia selalu masuk 5 besar negara terkorup di dunia setiap tahunnya. Hampir semua orang tahu keberadaan korupsi ada di sekitarnya namun tidak tahu dan atau tidak mau tahu untuk memberantasnya. Demikian juga yang terjadi dilembaga pemerintahan baik departemen maupun non-departemen. Para insan yang ada di dalamnya tahu kalau ada korupsi, tahu kalau dirinya melakukan korupsi tapi hampir tidak ada upaya untuk menghapuskannya.
Memang sudah banyak lembaga-lembaga yang menyurakan anti korupsi terutama para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kehadiran Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, juga ikut menyemarakkan semangat anti korupsi. Pemerintah sendiripun telah berupaya dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan mampu mengikis korupsi, setelah lembaga-lembaga yang terkait seperti kejaksaan dan kehakiman, juga polisi tidak mampu dan atau tidak mau berbuat banyak. Kehadiran International Monetary Fund (IMF) melalui Letter of Intents (LoI) juga menyuarakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Banyak sudah yang menyuarakannya, namun korupsi tetap berlanjut. Bagaimana korupsi ini muncul?
Ada beberapa cara terjadinya kebocoran (baca: korupsi) yang ada di lembaga pemerintah. Pertama, melalui anggaran yang diusulkannya dan kedua, melalui jabatan yang didudukinya.
Anggaran
Sudah menjadi rahasia umum di lembaga pemerintah, bahwa setiap kali mengajukan anggaran ke pemerintah (terutama yang terkait dengan istilah Daftar Isian Proyek-DIP) haruslah selalu lebih besar dari tahun sebelumnya. Tidak ada dalam kamus mereka kata anggaran menurun, meski kegiatan yang dilakukannya tidak berubah atau cenderung turun. Dengan demikian, hal ini bisa memacu libido mereka untuk menciptakan kegiatan-kegiatan fiktif (yang tidak akan atau kemungkinan kecil akan direalisasikannya) dan hanya sekedar untuk meningkatkan jumlah anggaran. Perilaku seperti ini secara kumulatif tentu akan semakin memperberat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang notabene merupakan uang rakyat.
Setelah anggaran turun dan kegiatan yang diusulkannya sudah dilakukan namun masih ada sisa anggaran, apa selanjutnya yang terjadi? Bagi departemen atau non-departemen pemerintah adalah hal tabu untuk menyisakan dana anggaran yang sudah turun dari pemerintah. Adalah pamali pula untuk mengembalikannya pada negara. Ketabuan mereka muncul karena didasarkan pada beberapa alasan: pertama, dikembalikan ke negara berarti anggaran tahun depan bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya. Kedua, mengembalikan ke negara berarti dimakan oleh institusi yang ada di atasnya (yang menerima dana aliran balik). Berarti uangnya juga hilang. Di sini tidak ada kepercayaan antar orang/lembaga pemerintah bahwa uang yang dikembalikan akan kembali ke negara dalam bentuk tabungan negara. Sehingga apa yang dilakukan oleh mereka adalah menghabiskannya dengan cara apapun. Bagaimana mereka memakannya?
Ada beberapa modus operandi yang muncul. Diantaranya adalah melalui kegiatan fiktif yang mampu menyerap dana dengan memalsu tanda tangan (yang tidak ada kegiatannya). Bisa juga kegiatan riil yang dilakukan tidak tepat pada waktunya. Sering kita jumpai bongkar pasang jaringan listrik dan telepon dengan tanpa adanya koordinasi, aktivitas kunjungan atau studi banding ke daerah atau negara lain adalah merupakan contoh nyatanya.
Jabatan
Sebelum memangku jabatannya, pejabat yang ada di lembaga pemerintah khususnya selalu disumpah, namun banyak sekali yang tidak mampu untuk melakukan sumpah itu. Sumpah itu hanya berlaku pada saat dibacanya. Memang keimanan seseorang tidak bisa dipaksakan, orang yang mengaku muslimpun tidak bisa dipaksa untuk melakukan hal-hal yang diwajibkan di dalam agamanya. Demikian pula orang yang bersumpah tadi, kita tidak tahu dan tidak bisa memaksanya untuk memenuhi janjinya. Semuanya kembali kepada moral mereka bagaimana mereka memegang jabatannya.
Dengan jabatan seseorang bisa melakukan korupsi, baik itu di lembaga pemerintahan maupun swasta. Antar lembaga pemerintah korupsi bisa muncul melalui interaksi kepentingan seperti proses pengurusan dokumen, anggaran dan kerja sama proyek. Dengan swasta bisa terkait dalam proses transaksi jual beli barang dan jasa maupun jalur lain seperti kontrak proyek kerja sama. Proses transaksi ini sebenarnya menguntungkan pihak-pihak yang terkait. Pada pejabat pemerintah mereka akan menerima semacam upeti (ucapan terimakasih) atau bonus untuk mereka yang membawa proyek ke dalam lembaganya. Bagi swasta, untung mereka diperoleh karena lakunya barang dan jasa mereka. Dalam kaitannya dengan transaski jual beli ini akan diuraikan berikut ini.
Sistem rekanan
Dalam proses pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh lembaga pemerintah diharuskan untuk ditangani oleh kelompok yang disebut sebagai tim lelang. Dalam melakukan aksinya, tim ini harus bisa menghadirkan beberapa calon supplier. Sebenarnya sistem ini bagus karena adanya beberapa calon supplier berarti adanya persaingan diantara para penjual sehingga diharapkan harga yang dipatoknya bisa lebih rendah. Namun sistem ini dikebiri dengan cara menciptakan supplier fiktif yang hanya muncul dalam bentuk stempel dan stempelnyapun tidak bisa diperoleh dengan gratis. Dengan cara ini tentu saja yang akan menjadi pensuplainya adalah supplier tunggal yang munculnya lebih cenderung karena unsur kolusi.
Sistem pembelian barang di lembaga pemerintah ini juga di naikkan harganya (mark-up) oleh mereka yang ada di dalamnya. Harga yang terjadi antara lembaga pemerintah dengan supplier tunggal cenderung lebih tinggi dari harga pasar (karena adanya unsur kolusi dan korupsi, terkait juga dengan anggaran yang selalu naik). Harga tersebut bisa lebih dari dua kali lipat dari harga yang sewajarnya. Bahkan apa yang terjadi di Departemen Kesehatan, misalnya, terjadi pembelian alat-alat kesehatan yang harganya lima kali lipat dari harga pasar. Fantastis!
Proses pengadaan barang yang dilakukan secara tidak transparan telah menjadi sumber kebocoran ekonomi dan korupsi yang besar. Hal ini dikarenakan sistem tender yang tertutup dan pihak swasta cenderung tidak diikutsertakan secara terbuka dalam proses pengadaan barang dan jasa tersebut. Pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk memperbaikinya diantaranya dengan mengeluarkan UU No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 29 tahun 2000 tentang jasa konstruksi. Peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk menumbuhkembangkan industri konstruksi melalui perbaikan iklim usaha yang sehat, profesionalisme, ketentuan dan tata cara tender, penyusunan kontrak dan larangan malakukan persekongkolan untuk menentukan barang dan menaikan harga barang di atas harga pasar yang terjadi. Namun peraturan hanya sebatas peraturan.
Proses transfer korupsi
Bagaimana proses pentransferan uang korupsi dan bukti pengeluarannya. Dalam hal kesepakatan proyek, misalnya, setelah proyek disetujui, maka orang-orang yang terlibat di dalam penyusunan dan pengesahan tender akan memperoleh puluhan persen dengan alasan untuk administrasi dan sebagainya. Kemudian, dana akan turun ke bawah, dan dalam setiap meja yang dilaluinya akan terjadi pemotongan sampai ke tangan pelaku proyek yang paling bawah dan pekerja di lapangan. Terus bagaimana mereka yang memakan uang tersebut mempertanggungjawabkannya ke pemerintah pusat (anggaran).
Setiap pemotongan Rupiah yang terjadi dari atas sampai bawah akan muncul dalam angka yang ada dalam kuitansi/bukti penerimaan. Orang yang berada pada setiap level/meja akan menandatangani sejumlah uang yang nilainya akan lebih besar daripada yang diterimanya. Misalkan orang tersebut menandatangani kuitansi sebesar Rp. 100,- maka yang dia terima bisa sekitar Rp. 70,- sedangkan yang Rp. 30,- berupa korupsi. Demikian terus sampai pada meja yang paling akhir. Kalau angka yang ditandatangani tidak hanya Rp. 100,- tapi sebesar APBN negara kita misalnya, berapa jumlah uang yang akan dikorupsi? Ada kalanya juga tanda terima yang harus diteken tidak ada uangnya. Hal ini terutama terjadi pada meja yang paling akhir, dengan alasan ini dan itu.
Dari semua tindak korupsi seperti itu, orang-orang yang ada di lembaga pemerintah mengetahuinya tapi tidak mau untuk merubahnya. Alasan klise yang sering muncul adalah “Bahwa hal itu tidak bisa diubah dan sudah menjadi sistem. Kalau kita ingin uang/anggaran turun maka kita harus mengikuti sistem yang ada”. Jadi dalam lembaga pemerintah sendiri sudah muncul semacam pandangan atau bahkan ideologi bahwa korupsi merupakan kerjasama yang saling menguntungkan (mutualism symbiosis) dalam suatu sistem.
Upaya
Begitu sulitkah memberantas korupsi di negeri tercinta ini? Sangat sulit! Tapi harus terus diupayakan untuk memberantasnya. Kita, masyarakat luas, harus terus mendorong pemerintah untuk memberantasnya melalui reformasi atau kalau perlu revolusi sistem yang ada. Atau, paling tidak kita harus mengetahui bagaimana korupsi itu menjadi semacam gurita hidup dalam diri kita, terutama dalam lembaga pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat karena fungsinya sebagai lembaga publik. Dengan diketahui prosesnya diharapkan ada gerakan moral dari para pelaku untuk menghentikan korupsi dan dari masyarakat untuk terus mengupayakan gerakan nasional anti korupsi.
*Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Saturday, September 15, 2007
Fenomena Korupsi di Lembaga Pemerintah
Posted by
Cheria Holiday
at
4:42 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment