Sunday, September 23, 2007

Penjamin Kualitas Pelayanan Kesehatan

Standar Penjamin Kualitas Pelayanan Kesehatan


Kamis, 19 Desember, 2002 oleh: Siswono
Standar Penjamin Kualitas Pelayanan Kesehatan
Gizi.net - SANTI wanti-wanti berpesan pada teman dan keluarganya untuk tidak pergi ke rumah sakit A. Pasalnya, ia pernah mengalami kejadian tak mengenakkan.

Di rumah sakit yang relatif dekat dengan tempat tinggalnya itu, Santi pernah membawa ibunya saat mengalami sesak napas. Di unit gawat darurat, sang ibu yang menderita tekanan darah tinggi dan diabetes melitus hanya diperiksa sebentar dan diminta untuk beristirahat. Melihat serangan sesak napas bertambah berat Santi memutuskan untuk membawa ibunya ke rumah sakit lain. Di rumah sakit B setelah diperiksa dengan teliti, ibu Santi mendapat obat sehingga sesak napas mereda dan pasien merasa nyaman.

Terlepas benar tidaknya cara perawatan di kedua rumah sakit tersebut, di mata awam keduanya menerapkan cara berbeda dalam menangani pasien. Bagi masyarakat, hal itu terlihat sebagai pelayanan "memuaskan" atau "tidak memuaskan". Seharusnya ke mana pun pasien minta pertolongan akan mendapat pelayanan yang sama sesuai standar.

Untuk bisa dikatakan standar tidak bisa dipisahkan dari kehidupan modern. Dengan standar kinerja suatu institusi diukur dan dievaluasi. Bagi sarana pelayanan kesehatan, standar diperlukan untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan.

Tentu saja standar tidak hanya untuk penatalaksanaan penyakit, tetapi meliputi seluruh aspek seperti ketenagaan, peralatan termasuk obat-obatan, gedung/bangunan, dan sebagainya. Dengan adanya standar, setiap orang bisa mendapatkan pelayanan yang bermutu sama di setiap sarana pelayanan kesehatan.

Sebenarnya Departemen Kesehatan telah menyusun berbagai standar. Umumnya dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan dilanjutkan dengan petunjuk pelaksanaan dalam bentuk Keputusan Direktur Jenderal bidang terkait.

Menurut Menteri Kesehatan Achmad Sujudi, Departemen Kesehatan terus menyusun berbagai standar, terutama berkaitan dengan desentralisasi, misalnya Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dilaksanakan di setiap daerah. Demikian pula standar teknis untuk menjamin keamanan pasien seperti standar gas medik pada sarana pelayanan kesehatan yang ditandatangani 22 November 2002 lalu. Standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medis di rumah sakit pun telah ada dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan yang diterbitkan tahun 1993.

MASALAHNYA, sejauh mana pemantauan, audit, dan inspeksi dilakukan untuk memastikan sarana pelayanan kesehatan menerapkan berbagai standar itu. Seperti yang dilakukan Australia lewat The Australian Council on Healthcare Standards/ACHS, badan independen yang didirikan oleh Asosiasi Kesehatan Australia cabang New South Wales dan Asosiasi Rumah Sakit Australia cabang Victoria yang melakukan akreditasi terhadap rumah sakit di negara bagian tersebut.

Atau seperti Singapura yang melakukan pemantauan lewat bagian dari Kementerian Kesehatan yang berkaitan dengan lisensi dan akreditasi. Di Kementerian Kesehatan juga ada bagian yang mengawasi kualitas pelayanan klinis lewat Program Audit Medis Nasional. Program yang diluncurkan tahun 1998 itu merupakan kerangka untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan klinis bagi pasien.

Salah satu yang pernah diaudit adalah operasi myomektomi yang dilaksanakan di Singapura sepanjang Juni-Desember 1998. Hasilnya ada 15,3 persen operasi yang tidak tepat diklasifikasikan sebagai operasi dengan penyulit. Ketidaktepatan ini menyebabkan pasien harus membayar lebih dari yang seharusnya.

Problem serupa di Indonesia adalah dalam hal pertolongan persalinan dengan operasi caesar. Tingkat tindakan bedah caesar di sejumlah rumah sakit terutama di kota besar dinilai lebih tinggi dari yang seharusnya.

Bagi Indonesia, meski telah ada Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan Lainnya yang aktif sejak 1995/1996 agaknya perjalanan masih jauh. Apalagi belakangan ini kegiatan Komisi Akreditasi tak banyak terdengar.

Menurut Prof dr Amal C
Sjaaf DrPH dari Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, masih banyak standar yang harus disusun untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.

Selain untuk menjamin kualitas, penetapan standar juga terkait dengan penghitungan biaya. Dengan adanya standar, pasien hanya membayar pelayanan kesehatan yang sesuai standar. Jika lebih dari standar harus ada kesepakatan dengan pasien.

Untuk mempercepat penetapan standar, Departemen Kesehatan dibantu Konsorsium Pelayanan Medik (KPM) yang diketuai Prof dr Sofyan Ismael SpA(K) dengan sekretaris Prof Dr dr Soedarto Ronoatmodjo MSc dan para anggota Prof Dr dr Sudigdo Sastroasmoro SpA(K), Prof dr Abdul Bari Saifuddin MPH SpOG, dr Broto Wasisto MPH, serta Prof dr Amal C Sjaaf DrPH.

Tugas KPM antara lain menginventarisasi standar yang telah ada, mengevaluasi serta mengembangkan standar teknis bersama organisasi profesi terkait, misalnya dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk standar pelayanan medis, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk standar asuhan keperawatan, dan sebagainya. Sementara standar sarana dan prasarana disusun oleh Departemen Kesehatan.

"Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) telah menyusun panduan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan. Namun, sampai kini masih menunggu untuk disahkan sebagai standar nasional oleh Departemen Kesehatan," tutur Amal.

Standar yang dipandang perlu segera disusun adalah standar yang detail untuk sarana pelayanan kesehatan semisal rumah sakit swasta, klinik 24 jam, dan rumah bersalin. Misalnya berkaitan dengan tata letak bangunannya, peralatan, dan obat-obatan yang harus tersedia dan sebagainya. Departemen Kesehatan memang telah menerbitkan pedoman rumah sakit umum kelas A, B, C, D, namun belum ada untuk sarana pelayanan kesehatan swasta sehingga sarana pelayanan kesehatan swasta berjalan sendiri tanpa standar baku.

Hal krusial, menurut Amal, adanya pembedaan antara rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit swasta. Rumah sakit swasta harus mengantungi izin yang sewaktu-waktu bisa dicabut jika melakukan kesalahan, sedang rumah sakit pemerintah tidak. Akibatnya, substansi pelayanan berbeda-beda di setiap rumah sakit. Bahkan, ada kemungkinan terjadi pelayanan substandar di rumah sakit pemerintah.

"Seharusnya semua rumah sakit melakukan pelayanan kesehatan sesuai standar dan mendapat sanksi yang sama jika melakukan kesalahan untuk menjamin kualitas," ujar Amal.

Saat ini jumlah sarana pelayanan kesehatan ditetapkan berdasarkan wilayah. Misalnya, di satu kabupaten/kota harus ada satu rumah sakit umum, di satu kecamatan harus ada minimal satu puskesmas.

Seharusnya sarana pelayanan kesehatan dan tenaga ditetapkan berdasarkan jumlah populasi. Misalnya rasio tempat tidur dengan jumlah penduduk, tempat tidur dengan dokter, tempat tidur dengan perawat. Juga rasio dokter dengan jumlah penduduk, perawat dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan terjamin.

Kalau pemerintah daerah tidak sanggup mengadakan, Departemen Kesehatan perlu turun tangan untuk membantu atau memberi kesempatan institusi swasta maupun lembaga nirlaba berkiprah. Yang penting pemerintah menetapkan standarnya. Implikasinya, para dokter yang bekerja di lembaga-lembaga itu di daerah terpencil diakui telah melaksanakan wajib kerja sarjana.

Dengan penghitungan berdasarkan populasi bisa dihitung kebutuhan peralatan kedokteran di suatu kabupaten/kota seperti alat rontgen, CT-Scan, MRI, dan sebagainya.

"Dengan demikian terjadi penapisan teknologi sesuai kebutuhan masyarakat. Tidak seperti sekarang, kita belum bisa menghitung jumlah kebutuhan serta tidak tahu jumlah dan jenis peralatan yang dimiliki berbagai rumah sakit di suatu kota besar. Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan tidak memiliki data. Data justru ada di Departemen Keuangan berkaitan dengan pajak," papar Amal.

Berkaitan dengan SPM, Amal berpendapat, seharusnya pengadaan obat di kabupaten/kota dikaitkan dengan pola penyakit dan angka morbiditas. Untuk itu perlu dibuat standar metode penghitungan angka morbiditas dan pola penyakit.


DARI pengamatan, sebenarnya Departemen Kesehatan telah menetapkan berbagai standar. Namun, standar itu terpisah-pisah dan tidak mudah diperoleh masyarakat karena lemahnya sistem penyimpanan.

Tahun 1980-an, Departemen Kesehatan menetapkan Pokok-pokok Pedoman Rumah Sakit Umum kelas A, B, C, D berupa tata letak ruang secara rinci untuk masing-masing kelas rumah sakit dari tata letak poliklinik, ruang operasi, ruang perawatan, ICU, ICCU, gawat darurat, administrasi, sampai ruang dapur, laundry/cuci dan bengkel. Standar lain menetapkan perbandingan ketenagaan (tenaga medis, tenaga paramedis perawatan dan nonperawatan serta nonmedis) di masing-masing kelas rumah sakit terhadap jumlah tempat tidur.

Peraturan lain menetapkan persyaratan jumlah tempat tidur pada rumah sakit badan hukum sosial dan badan hukum lain, perbandingan luas tanah dan bangunan, jenis ruangan, kelengkapan medis dan nonmedis. Ada pula peraturan Menteri Kesehatan tentang standar pelayanan medik dasar yang dilengkapi petunjuk pelaksanaan dari Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat tentang persyaratan praktik dokter, praktik bersama, rumah bersalin, dan balai pengobatan lengkap dengan peralatan yang harus disediakan.

Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Prof Dr dr Ahmad Djojosugito MHA SpBO, berkaitan dengan otonomi daerah, standar-standar itu kini sedang diinventarisasi dan dikaji mana yang perlu ditingkatkan untuk menjadi peraturan pemerintah sehingga lebih ditaati pemerintah daerah.

Ahmad mengakui, saat ini standar sarana pelayanan kesehatan masih berdasarkan wilayah, belum populasi. Penghitungan berdasarkan populasi tidak mudah. Dasar perhitungan yang dipakai di Barat tidak sesuai dengan Indonesia. Misalnya, pola pemanfaatan rumah sakit oleh masyarakat. Karenanya perlu penelitian tersendiri. Departemen Kesehatan belum memprioritaskan hal itu. Fokus perhatian Departemen Kesehatan adalah mengatur agar di era otonomi daerah pembangunan kesehatan berjalan seiring pembangunan bidang lain serta agar pemerintah daerah memiliki kesadaran dan perhatian terhadap kesehatan yang merupakan hak asasi serta investasi bagi pembangunan. Caranya dengan meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak serta pemberdayaan daerah.

Hal lain yang dianggap mendesak adalah membuat undang-undang payung untuk menaungi berbagai peraturan dan standar di bidang kesehatan serta memberi kewenangan pada Konsil Kedokteran untuk mengatur praktik kedokteran. (Atika Walujani M)Global-Alkes : Bursa Online Jual Beli Dan Info Harga Alat Kesehatan

No comments: